Ketika artis Jadi Panutan

blog-O-man: Ketika artis Jadi Panutan. Sebuah bacaan usangku beberapa tempo yang lalu.
Kala itu Muhammad dilahirkan sebagai utusan Tuhan untuk membawa perubahan dan kedamaian. Ya, malam itu malam Maulid. Saya yang semula ingin melakukan kencan berbau selingkuh (dengan pacarku yang pelacur kejaksaan) akhirnya terdampar dalam sebuah acara kontes pemilihan.
Ya, pemilihan, dimana wanita dijadikan komoditi dagangan. Gila, tapi toh lebih baik dibanding menjual agama demi kepentingan duniawi dan politis. Pemilihan yang bertujuan untuk mencari seorang gadis sebagai Playmate of the year itu langsung meriah.
Pengunjung sudah berdatangan turut ambil bagian dan tak ingin ketinggalan. Suasananya acid rain party dengan lampu kelap kelip yang menyilaukan dan musik yang memekakkan menambah sesak suasana. Asap rokok dan bau wangi Bvlgary berubah menjadi asap candu yang memabukkan.
Tengah malam, acara pemilihan digelar. Para gadis lenggak-lenggok berjalan. dua puluh calon dihidangkan untuk diperlombakan. Satu persatu calon dimajukan, kontan mendapat sorak-sorai ramai sebagai dukungan. Sorak ramai adalah format yang dipakai untuk memberikan dukungan. One man one hip hip horee.
Astaga aku melihat pacarku ikut dilombakan, dasar pelacur murahan. Tak mengherankan bila dirinya masuk nominasi, wajahnya cantik, BH hitam yang dikenakan tak sanggup menahan besarnya beban. Kulitnya yang mulus hanya dibungkus pakaian transparan. Wow, mengundang gejolak dalam dada.
Suasana bertambah tegang, pelacurku dapat menyisihkan Wanda model yang reformis PAN. Bahkan Vina Yuniar calon mantu kiai kondang dapat mudah ditendang. Kini hanya menyisakan dua calon pemenang. Akhirnya suara tetap berimbang. Siapa calon yang tinggi nilai jual tunggu lirikan suara netral. Benar suara netral yang tersisa memang memegang peranan.
Pelacurku gagal tersisihkan. Tapi semua pihak menerima dengan senang hati dan larut dalam kemenangan. Kekalahan secara demokratis begitu pelacurku menyebutnya. Dirinya menyadari lawan merupakan public figure yang selalu menghiasi cover majalah. Sedangkan pelacurku hanya menjadi sampul kelamnya kehidupan malam.
Suara netral yang menentukan itu, menjatuhkan pilihan pada bobot kredibilitas personal. Pelacurku jelas tak perlu diragukan; kredibilitasnya pasti memalukan. Kredibilitasnya hanya mendapat kepercayaannya dan laku dijual dalam kelompok tertentu. Kelompok hidung belang yang memandang dirinya sebagai barang dagangan.
Lelah sekali malam itu. Sebelum kuputuskan untuk tidur dengan majalah Popular sebagai bacaan. Apakah ini pertanda muncul harapan demokrasi belum hilang? Tentunya belum dapat dibuktikan sekarang.
Karena sangat mengherankan jika demokrasi hanya hidup dalam taraf pemilihan: Siti Zulaikha, si penggoda Yusuf. Atau apakah demokrasi hanya hidup dalam dunia hura-hura?
Ya, tentunya wajar timbul keheranan dalam benakku, apakah yang menjadi rahasia Mu Tuhan. Tunjukkan alasan Mu untuk tidak menurunkan Muhammad baru yang dapat mengingatkan cinta Mu Tuhan. Ketika hedonis sebagai bahasa pergaulan. Pornografi simbol peradaban. Tentunya tak mengherankan jika MUI menjadi dolanan dan akhirnya artis jadi panutan. Akhirnya cinta terbuang.

(Sumber: Wartawan menulis - Kolom Khusus Wartawan Rakyat Merdeka - oleh: Anugrah Aji)

0 komentar:

Berikan komentar Anda tentang artikel ini. Anda sopan kamipun segan. Terima kasih

Jika berminat dengan artikel-artikel di blog ini silahkan Follow by Email di bawah ini: